Upaya Prof. Dr. Soeharso memulai usaha rehabilitasi bagi penderita cacat (istilah pada saat itu) membuat alat bantu sebagai pengganti organ tubuh (kaki/tangan) yang hilang akibat perang kemerdekaan tidak lepas dari wujud implementasi konsep Dr. Howard Rush tentang tujuan rehabilitasi yang di dalamnya mencakup :
1. Mengenal penyandang cacat pada tingkatan maksimal.
2. Memperkecil ketidakmampuan fisik (kalau memungkinkan).
3. Melatih kembali orang yang memiliki cacat fisik dan melatih bekerja dalam keterbatasan sampai pada batas maksimal kemampuannya.
Karena beliau seorang dokter, maka tinjauan dalam upaya penanganan pertama bagi penderita cacat beliau lebih banyak menekankan pada aspek medis dan berprinsip pada empat bidang lapangan pekerjaan kedokteran yang meliputi : pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, perawatan, dan rehabilitasi. Konsep ini sesuai dengan pendapat Dr. Christholm, anggota Komite Rehabilitasi WHO yang mengatakan bahwa “Kesehatan merupakan masalah yang menyangkut fisik, mental, dan sosial yang baik dan tidak hanya menyangkut bebas dari penyakit”.
Apabila mengacu pandangan Dr. Howard Rush apa yang dilakukan oleh Prof. Dr. Soeharso dengan pemberian alat bantu adalah merupakan tahap awal dari sebuah upaya untuk menuju kemandirian para penderita cacat. Dan tahun 1946 Prof. Dr. Soeharso dibantu rekan sejawat di RS. Muwardi memulai pekerjaan rehabilitasi dengan melakukan eksperimen-eksperimen pembuatan organ pengganti (tangan dan/atau kaki), yang selanjutnya disebut prothese, dari bahan-bahan yang sangat sederhana, kayu atau bambu.
Meskipun dengan bahan yang sederhana namun usaha ini disambut dengan luar biasa oleh orang-orang yang membutuhkan prothese tersebut, hal ini ditandai dengan banyaknya orang yang datang ke Solo, bukan hanya dari wilayah jawa tetapi juga dari luar jawa.
Karena sedemikian banyak peminat prothese ini maka tahun 1947 beliau membuat asrama di belakang RS. Muwardi untuk menampung orang-orang yang datang dan menunggu mendapatkan prothese. Lambat laun, asrama yang tujuan awalnya adalah tempat singgah sementara bagi para penderita cacat ternyata juga mampu berfungsi sebagai ruang berinteraksi, berbagi pengalaman dan proses pengembalian sikap mental para penderita cacat. Maklum sebagaian besar dari mereka mengalami problem psikologis menerima kenyataan tentang kondisi fisiknya. Banyak yang merasa rendah diri, malu, tidak punya harapan hidup dalam menjalani kehidupannya.
Sedangkan konsep melatih bekerja (baca : pemberian ketrampilan pada saat itu) dalam keterbatasan sampai pada batas maksimal kemampuannya, merupakan tahap kedua dari proses rehabilitasi. Dalam konteks zaman saat itu pemberian ketrampilan praktis memang signifikan dengan situasi dan kondisi negara yang baru saja merdeka, dimana infrastruktur maupun suprasturkturnya masih berbenah. Tetapi lebih dari itu, pemberian ketrampilan ini didorong oleh sebuah pengalaman Prof. Dr. Soeharso menerima keluhan seorang janda yang telah bekas kliennya.
Suatu sore, beliau menerima janda tersebut dirumahnya. Janda itu berkata : ”Pak Harso, seandainya saya tahu yang akan terjadi seperti sekarang ini, saya lebih baik mati saja. Sekarang saya sudah kehilangan kaki sebelah tetapi saya juga telah kehilangan suami dan anak-anak saya akibat perang. Lebih dari itu ketika saya kembali ke kampung halaman, tidak ada satupun anggota keluarga atau tetangga yang mau menerima saya untuk ngenger (Jawa : pembantu tapi tidak mendapatkan gaji, sekedar menumpang tidur dan makan orang yang diikuti).”
Keluhan itulah yang menginspirasi Prof. Dr. Soeharso, bahwa penderita cacat harus mempunyai ketrampilan agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain. Secara kebetulan pada saat itu orang yang tinggal di asrama belum punya kegiatan apapun ketika menunggu proses pembuatan prothese sehingga masih banyak waktu luang. Maka disusunlah beberapa kegiatan yang sifatnya memberikan ketrampilan praktis seperti anyam-anyaman, membuat sapu lidi, dan lain sebagainya. Tujuannya agar supaya ketika mereka kembali ke kampung para penderita cacat sudah mempunyai bekal hidup, minimal untuk menghidupi dirinya sendiri.
Matrik Aktifitas Prof. Dr. Soeharso Mulai Tahun 1946 sampai dengan Tahun 1972
No | Tahun | Aktifitas | Tujuan |
1 | 1946 | Melakukan eksperimen pembuatan organ pengganti (tangan/kaki) | Mencari model organ pengganti atau yang sekarang disebut prothese. |
2 | 1947 | Mendirikan asrama | Menampung orang-orang yang membutuhkan prothese. |
3 | 1949 | Mengajukan program ke Kementrian Sosial yang diberi judul “Rehabilitation Of The Physically hadicapped” | 1. Bidang Kedokteran bertujuan meningkatkan validitas dengan mengurangi invaliditas. 2. Bidang Pendidikan bertujuan meningkatkan kecakapan ke arah yang produktif dan bermanfaat. 3. Program Sosial bertujuan tercapainya penyesuaian diri dalam masyarakat dan ke arah pandangan serta sikap yang sehat dari masyarakat terhadap penyandang cacat. 4. Program Legislasi bertujuan melakukan perlindungan dengan membuat undang-undang yang mengatur pemberian pertolongan kepada penyandang cacat dalam bidang-bidang kedokteran, sosial, pendidikan, dan administratif. |
4 | 1952 | Mendirikan Lembaga Otrhopedi & Prothese (LOP) sekarang Rumah Sakit Orthopedi & Prothese (RSOP) |
|
5 | 1953 | Mendirikan Yayasan Pemeliharaan anak-anak Cacat (YPAC | Menampung anak-anak yang terserang polio. |
6 | 1953 | Yayasan Sheltered Workshop (YSW) | Menampung orang eks-Rehabilitasi Centrum (RC) untuk bekerja bersama dengan “orang noncacat” dan mendapat penghidupan layak dan bekerja. |
7 | 1954 | Mendirikan Lembaga Orthopedi dan Prothese |
|
8 | 1954 | Mendirikan Lembaga Penelitian dan Rehabilitasi Penyandang Cacat, sekarang Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (PRSBD) | 1. Memberikan pelayanan pembuatan alat bantu/ pengganti bagi organ tubuh yang hilang akibat korban perang. 2. Memberikan pelayanan pemberian ketrampilan praktis untuk kemandirian penyandang cacat. 3. Memberikan bantuan konsultasi psikologis dalam mengembalikan mental penyandang cacat. |
9 | 1954 | Yayasan Paraplegia |
|
10 | 1957 | Yayasan Pembina lahraga Penderita Cacat (YPOC), sekarang Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) | 1. Meningkatkan solidaritas dan persaudaraan di kalangan penyandang cacat. 2. Meningkatkan rasa percaya diri. 3. Membina kepribadian maupun kemampuan jasmani. |
11 | 1958 | Sekolah Fisioterapi Solo, yag sekarang menjadi Akademi Fisioterapi | Pengembangan penanganan dalam bidang keilmuan |
12 | 1972 | Yayasan Bhakti Nurani | 1. Mensejajarkan penyandang cacat dengan noncacat. 2. Sebagai forum/ wahana berkumpul alumni (pasien) YPAC untuk berbagi pengalaman dan penguatan jaringan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar