Oleh : Sapto Nugroho
Tanggal 28 Februari 2007, UU no.4/1997 tentang Penyandang cacat genap berusia sepuluh tahun. Sebuah perjalanan waktu cukup panjang untuk melakukan berbagai bentuk perubahan sekaligus peningkatan kualitas hidup bagi kelompok difabel (istilah yang mulai populer sebagai pengganti istilah penyandang cacat).
Sepuluh tahun kelompok difabel produk UU yang menjamin hak-haknya namun kualitas dan kwantitas masalah (diskriminasi) yang dihadapi terhadap kelompok difabel masih sama besar, kalau tidak ingin dikatakan meningkat. Mungkin terasa aneh, perjalanan sepuluh tahun bagi sebuah bangsa tidak mampu merubah kondisi sosial ekonomi kelompok difabel, meski sekedar mengurangi kesesakan hati menghadapi berbagai hambatan ketika ingin mengaktualisasikan diri.
Barangkali problem utama masalah ini bukan terletak pada peraturan-peraturan yang telah dibuat, namun lebih pada masalah paradikmatik
Perubahan Depsos
Pasca pembubaran Departemen Sosial (Depsos) era pemerintahan Gus Dur dan muncul kembali pada masa pemerintahan Megawati, Depsos memang mengalami perubahan-perubahan. Paling tidak ada tiga perubahan Depsos sekarang ini.
Pertama, perubahan istilah kelompok sasaran (masyarakat) rentan, salah satunya kelompok difabel, wilayah garapan Depsos. Pada masa Orde Baru, kelompok sasaran ini dengan sebutan ”Penyakit Masyarakat”, sedangkan sekarang istilah yang digunakan adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kedua, perubahan pendekatan penanganan masalah dari carity bergeser kearah pemenuhan HAM kelompok sasaran.
Ketiga, perencanaan program diupayakan bersinergi dengan program pembangunan lainnya melalui Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) dengan menggandeng Departemen lain (Depkes, Dekoinfo, Depnaker, dll). Dalam konteks issu difabel, secara paradikmatik, Depsos belumlah melakukan perubahan mendasar, baik secara konseptual, strategi, model pendekatan, maupun program-program penanganan.
Penyebutan kelompok difabel sebagai PMKS sebenarnya mengandung makna pemutarbalikan logika, seolah-olah bahwa semua masalah, terutama masalah diskriminasi, merupakan kesalahan individu difabel, bukan dianggap sebagai kesalahan penanganan oleh negara sekaligus negara tidak melakukan antisipasi. Logikanya sederhana saja, bukankah pelaku diskriminasi terhadap difabel adalah sebagian besar masyarakat non difabel ?
Meskipun rumusan rencana strategis (rentra) Depsos memaparkan analisa masalah eksternal PMKS yang berhubungan dengan structural, namun dalam Rencana Program Jangka Panjang (2004-2025) maupun Menengah (2004-2009) tidak ada pokok progam mengatasi hal ini.
Konteks HAM
Laporan kinerja Depsos tahun 2001 – 2004 yang digunakan sebagai acuan penyusunan RPJM dan RPJP mepaparkan bahwa Depsos hanya mampu merehabilitasi dan perlindungan sosial sebanyak 63.143 orang difabel dan 8.998 difabel anak. Tidak ada laporan bagaimana bentuk rehabilitasi serta perlindungan social serta tingkat sebaran wilayah kerja dari angka tersebut.
Jadi rata-rata setiap tahun Depsos hanya mampu menyentuh 18.035 orang difabel yang dibiayai oleh APBN dan kalau mau ditambah jumlah difabel yang terlayani melalui APBD kira-kira Depsos hanya mampu menyentuh sekitar 22.985 orang per tahun. Asumsinya, setiap kabupaten/kota di Indonesia mampu mendistribusikan anggaran bagi 150 orang difabel. Angka diatas jelas kontradiktif dengan data Depsos tentang jumlah difabel di Indonesia saat ini, yang estimasinya sekitar 3,1% (6,51 juta difabel) dari jumlah penduduk, sementara WHO justru mengestimasikan angka 10% (21 juta difabel).
Jika kita mengkaji pelaksanaan pemenuhan HAM diukur melalui indicator-indikator mempromosikan, melindungi, menghormati serta memenuhi (kebutuhan) difabel, dari angka-angka diatas kita bisa bayangkan berapa banyak difabel yang tercecer. Lantas mengapa persoalan ini bisa terjadi? Ada tiga hal yang bisa diajukan sebagai argumentasinya.
Pertama, proses pembangunan yang mengalami bias difabel. Barangkali negara ini tidak akan senang bila dikatakan bahwa sebenarnya tidak pernah berfikir tentang difabel, tetapi mari kita melihat fakta. Ambilah contoh model pendataan bencana besar yang dipakai negara ini, tsunami di aceh dan gempa Yogya, bukankah kita tidak pernah mendapatkan informasi resmi tentang jumlah difabel baru akibat bencana tersebut? Itulah sebabnya, seluruh kebijakan (pemenuhan kebutuhan) yang dibuat untuk recovery juga mengalami bias difabel. Bukankah sekarang kita semakin banyak mendengar protes dari organisasi difabel yang menuntut terwujudnya aksesibilitas di fasilitas public? Padahal peraturan sebagai acuannya telah muncul sembilan tahun yang lalu.
Kedua, difabel belumlah dianggap sebagai kelompok social capital, yang punya kapasitas dan dikembangkan dikembangkan secara maksimal. Kasus-kasus penolakan dunia pendidikan (sekolah) terhadap difabel (mampu didik) mestinya tidak terjadi jika negara ini giat mempromosikan mengubah cara pandang masyarakat (kalangan pendidik) bahwa kecerdasan seseorang terletak pada organ otak, bukan pada kaki yang folio, mata yang buta atau telinga yang tak mapu mendengar. Problem utamanya adalah bahwa seorang difabel selalu tidak dilihat sebagai manusia yang utuh tetapi selesai pada tingkat difabilitas yang dialaminya. Negara ini telah sedemikian banyak resource yang dimiliki difabel.
Ketiga, model penanganan difabel yang tidak berubah sampai sekarang. Depsos masih ”ngotot” menggunanakan model lama, sistem panti (pemberian ketrampilan) dan bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) diluar panti. Sebuah konsep penanganan difabel, Community Base Rehabilitation (CBR) dan asal tahu saja konseptornya adalah orang Indonesia, justru banyak diimplementasikan negara lain, sementara di Indonesia sendiri nyaris tak terdengar.
(Penulis adalah Direktur Yayasan Talenta Solo bergerak dalam advokasi kebijakan untuk difabel)
andai saja di tiap kota/kabupaten ada difabel yang kaya om sapto (dalam ilmu da kecakapan) tentu ceritanya g kaya gni
BalasHapus