Oleh : Sapto Nugroho.
Pada bulan Januari 2006, DPRD Surakarta periode 2004-2009 berinisiatif memulai pembahasan Raperda Kesetaraan Difabel, yang sebenarnya telah diusulkan kelompok difabel sejak tahun 2004. Namun jadwal yang telah dibuat oleh DPRD tertunda karena, menurut mereka, akibat persoalan tehnis. Sekarang, sebagian besar anggota DPRD sedang melakukan pembahasan terhadap beberapa raperda sehingga kekurangan sumberdaya.
Terlepas dari persoalan diatas,
ketika beberapa orang perwakilan difabel melakukan audiensi dengan anggota dewan guna mempertanyakan alasan tertundanya pembahasan raperda tersebut, banyak pertanyaan maupun pernyataan anggota dewan mengindikasikan belum memahami subtansi raperda “Kesetaraan Bagi Difabel. Ada kesan, semoga saja kesan ini salah, cara pandang anggota dewan masih bertumpu pada dua hal.
Pertama, raperda tersebut dipahami hanya diperuntukkan bagi segelintir orang, tepatnya kelompok difabel. Sehingga, sering muncul pertanyaan dari para anggota dewan tentang berapa jumlah difabel di kota ini? Bila saja sebagian besar anggota DPRD mempunyai cara berpikir seperti ini maka, agaknya, nuansa politik masih mendominasi cara kerja DPRD dalam menjalankan fungsi menampung serta mengolah aspirasi masyarakat. Dan kalau saja ternyata jumlah difabel tidak lebih dari sepuluh orang di kota ini, apakah kemudian diperbolehkan anggota dewan atau pemerintah mengabaikannya?
Kedua, raperda ini masih dianggap sebagai sebuah issu yang tidak cukup signifikan memberi kontribusi pada pembangunan kota, terutama mendongkrak pendapatan daerah. Justru malah, bisa jadi dan sekali lagi kesan ini semoga salah, diangap membebani neraca keuangan pemerintah daerah karena harus menyediakan aksesibilitas fisik pada setiap fasilitas public (public servise), yang memang terkesan “mahal”.
Sekedar untuk menguji asumsi (negative) kesan tersebut, mungkin lebih mudah bila dalam tulisan ini disodorkan fakta sejaraha dan fakta-actual kondisi kota, khususnya menyangkut issu difabel.
Solo Berbenah
Sekitar bulan November 2005, kota Solo mengesahkan Perda tentang jalan raya, yang konon isinya telah mengakomodir kebutuhan keamanan dan kenyamanan difabel. Barangkali, masyarakat Solo tidak banyak yang mengetahui kalau sebulan kemudian tepatnya 5 Desember 2005, bertepatan dengan moment peringatan hari Penyandang Cacat Iinternasional (Disable People Days) yang jatuh setiap tanggal 3 Desember, kota ini mendapatkan Penghargaan Dalam Rangka Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dari Departemen Sosial RI.
Kota ini terpilih karena selama ini dianggap sebagai kota yang memberikan “Keteladanan Dalam Memberdayakan Dan Memberikan Kesetaraan Kesempatan”.
Bulan Januari 2006, DPRD Surakarta berinisiatif segera membahas dan mengesahkan raperda kesetaraan bagi difabel. Dan bulan Februari 2006, bertepatan dengan ulangtahun kota Solo ke 261, Walikota Surakarta mencanangkan gagasan mempercantik kota yang dimulai dengan membangun City Walk Area (Solopos, 17 Februari 2006).
Ada yang menarik dari beberapa kejadian diatas. Meski tanpa scenario ternyata muncul kegiatan-kegiatan yang saling mendukung issu-issu difabel. Lalu kontribusi apa yang bisa disumbangkan raperda kesetaraan bagi difabel bagi pembangunan kota Solo ke depan?
Rehabilitasi : Sejarah dan Fakta
Tulisan Walikota Surakarta menyambut hari ulang tahun kota Solo ke 261 di media ini mengisyaratkan membenahi Solo tidak boleh meninggalkan segala aspek kesejaharaannya, tidak tahu apakah Walikota juga mencatat kota ini sebagai kota rehabilitasi. Bukankah sejarah yang satu ini hari semakin tergusur, sebutan kota rehabilitasi semakin sulit dicari jejaknya.
Kalau demikian, masih relevankah julukan kota rehabilitasi melekat pada sosok Solo sekarang ini? Tidak perlu cepat menjawab, sebab kita justru dihadapkan pada banyak pertanyaan yang harus kita jawab terlebih dahulu, baik mengenai tentang kondisi kota maupun strategi penanganan masalah difabel sekarang ini.
Apakah kota ini cukup ramah, nyaman dan aman bagi difabel, jika saja sebagian besar fasilitas public hasil pembangunan justru tidak bisa diakses? Apakah cukup manusiawi jika pemerintah (kota) maupun banyak organisasi yang peduli pada pemberdayaan difabel dan difabilitas (kecacatan) masih mengedepankan kegiatan yang bersifat karikatif atau bantuan sesaat? Apakah kita tidak pernah merasa malu sekaligus merasa rugi bila julukan kota rehabilitasi telah berpindah ke Hongkong? Apakah kita pernah berfikir tentang fenomena munculnya pengamen difabel di jalanan kota atau difabel yang mengais rejeki dikota ini akan menjadi beban kota ini dikemudian hari?
Atau memang kita tidak pernah merasa eman, merasa menyadari dan bahkan merasa terbeban ketika julukan kota ini mulai bergeser, dari kota rehabilitasi difabel menjadi kota yang sekedar menjadi “gudang” difabel? Semua pertanyaan diatas disodorkan bukan untuk menghakimi namun lebih sebagai refleksi atas “kesalahan”
sikap, memaknai dan memahami sebuah tinggalan sejarah.
Raperda Untuk Semua
Kalau saja kita kritis menyingkapi konsep Prof. Dr. Soeharso tentang rehabilitasi bagi difabel, maka semua hal yang dilakukannya bukan sekedar ditujukkan untuk kepentingan difabel, tetapi bagi semua orang. Terlebih dari itu, kita banyak belajar dari beliau.
Bukankah dari beliua kita tahu bagaimana bersikap dan berempati terhadap orang-orang “tersisih” (korban perang, saat itu) yang hampir tidak mendapatkan perhatian orang. Dari beliau kita tahu bagaimana tahapan-tahapan pemberdayaan difabel yang sesungguhnya. Dari beliua kita mengenal serta dan memahami berbagai alat bantu dan kebutuhan difabel. Dari beliau kita menyadari bahwa apa yang dikerjakan sebenarnaya merupakan sumber pengetahuan dan ilmu. Dan dari beliau pula kita mengetahui bagaimana menjunjung tinggi harkat bartabat dan mendudukan seorang difabel sebagai manusia
Sayangnya, justru selama ini kita tidak memahami karya Prof. Dr. Sorharso merupakan sesuatu yang sangat bernilai bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Kita justru mengabaikan dan membiarkan semua ide-ide dasar Prof. Dr. Soeharso. Malah, ada pihak lain yang berusaha keras untuk menekuni serta mengembangkan ide-ide dasarnya..
Tatkala semua karya Prof. Dr. Soeharso lambat laun hanya merupakan sebuah catatan sejarah dan nostalgi munculah raperda kesetaraan bagi difabel. Selain mencoba revitalisasi konsep-konsep dasarnya raperda ini bertujuan untuk “nguri-uri semangat roh” seorang dokter yang secara total mengabdikan dirinya untuk manusia melalui keberpihakan pada kelompok difabel.
Raperda dan City Walk Area
Bila melihat isi raperda Kesetaraan Bagi Difabel sungguh sangat jauh dari berbagai kepentingan kecuali mengungkap sekelumit sisi kemanusian. Hal inilah yang disodorkan para inisiator penyusun, yang sekedar ingin “meluruskan” kesalahan sikap (kalau ada yang mengakui) dalam memperlakukan diri dan orang lain sebagai manusia selama ini. Bila harus diringkas, hanya ada dua hal yang ingin disodorkan mengenai isi raperda tersebut.
Pertama, mengangkat kembali satu gagasan Prof. Dr. Soeharso yang tercecer dalam mencipatakan kawasan (kota) yang nyaman dan aman bagi semua orang (difabel) melalui penyediaan aksesibilitas. Lagi-lagi sayangnya, banyak orang selalu saja terjebak menghitung angka dalam penyediaan aksesibiltas tanpa membandingkan seberapa besar manfaatnya bagi seorang yang tidak mampu mengakses fasilitas public akibat keterbatasan mobilitas. Sementara, kalau saja kita diberi umur panjang, otomatis akan mengalami difabilitas akibat penurunan fungsi organ tubuh.
Kita masih senang mendengar cerita seorang tuna netra yang terperosok dalam gorong-gorong jalan raya karena tidak adanya guiding blok sebagai penunjuk jalan bagi mereka, yang kemudian kita jadikan konsumsi guyonan. Atau kita lebih senang mengeluarkan kelakar ketika melihat staff Pemkot Solo, yang baru saja terserang stroke, yang harus sempoyongan menapaki ruas tangga gedung bertingkat lantaran lift yang tersedia rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Tetapi, mungkin kita tidak sadar, bahwa ramp (jalan landai) peron stasiun Balapan lebih banyak diakses para penumpang dari pada ruas tangga. Penyediaan aksesibiltas masih dipahami sebagai beban dan bukan investasi.
Kedua, bagaimana sekarang dan dimasa datang kita mampu mendudukan seorang difabel sebagai manusia yang utuh, bukan sekedar dipandang pada tampilan fisiknya. Rasanya sudah saatnya kita merubah sikap kita, yang justru seringkali menyesatkan penilaian kita, ketika bertemu dengan seorang difabel secara tergesa-gesa alam fiiran kita menganggap dia adalah sosok yang ingin meminta sumbangan. Kita jadi lupa atau bahkan melalaikan bahwa tidak semua difabel adalah sosok peminta-minta, ada banyak diantara mereka yang mempunyai kapasitas tertentu yang melebihi atau bahkan tidak kita miliki.
Kalau saja benar Walikota berobsesi merealisasikan gagasan city walk area sepanjang Puwosari sampai Gladak pada tahun ini, setidaknya raperda kesetaraan bagi difabel telah memberikan sumbangan pemikiran. Terutama agar tujuan physical dan human investment kota ini bagi warganya terpenuhi. Tentu saja kebutuhan tentang aksesibilitas (fisik) semua warganya, termasuk difabel, tertuang dalam blue print proyek tersebut.
Kalau toh kembali terlalaikan, mungkin, sekarang ini kita sedang berdiri sebagai manusia yang tidak paham bagaimana harus bersikap dan bertindak sebagai seorang manusia.
*******
Penulis adalah direktur Yayasan Talenta, bergerak dalam bidang advocacy kebijakan difabel
solo lbh bersahabat terhadap difabel ketimbang kota2 laen, q jg punya pengalaman pernah ribut ama petugas di saat mengurus perpanjangan sim c di kotaku
BalasHapus